top of page

REL

Updated: Nov 20, 2018


oleh A.A. Mayangsari


gambar ilustrasi


Mei, 2018


“Dimana ini?” kataku dalam hati.


Aku berdiri di sebuah rel kereta tua yang remang-remang. Matahari tampaknya sudah jauh pergi, tinggal menyisakan guratan lemah di langit. Aku mencoba mengejar semburat cahayanya yang tenggelam begitu cepat, tapi terlambat.


Gelap. Suasana sekitarku sunyi dan gelap, benar-benar tak ada lagi cahaya. Anehnya, aku masih bisa melihat dengan jelas, padahal tidak ada satupun penerangan di sekitarku. Aku melihat ke sekelilingku. Sepi. Tidak ada objek lain yang dapat aku lihat selain besi tua penyusun rel kereta di atas bebatuan. Hanya satu jalur rel kereta yang memanjang dari timur ke barat, tanpa ada rel lain ataupun perumahan dan jalan di kanan kirinya. Rel kereta itu terlihat jelas, sedangkan sekitarnya gelap. Nampaknya tak ada objek lain di situ selain besi-besi rel dan bebatuan kecil di bawahnya.


Aku terpaku. Entah mengapa muncul rasa tidak enak dalam hatiku. Aku merasa suasana semakin mencekam. Aku mulai gelisah, ketakutan seorang diri. Tiba-tiba muncul kabut tipis yang entah datangnya dari mana. Kabut itu bergerak perlahan, menyelimutiku. Seketika aku menyadari suatu kejanggalan pada diriku. Dalam tempat gelap yang berkabut, aku tidak merasakan dingin sama sekali, juga tidak merasakan suhu di kulitku. Aku bahkan tidak merasakan tubuhku sendiri. Tubuhku terasa ringan. Apakah aku mati rasa?


Pertanyaan itu terus berputar seiring dengan rasa takut yang kian lama mengental dalam benakku. Rasa takut itu semakin menjadi-jadi dalam diriku yang terus berdiam di sini. Aku pun memutuskan untuk berjalan menyusuri rel kereta api sambil sesekali menoleh mengamati sekitar, manakali ada tempat untuk singgah. Meskipun sudah cukup jauh aku berjalan, yang aku lihat tetap sama: rel kereta yang tak ada habisnya.


Setelah lama berjalan ke arah barat, aku mulai lelah. Tidak ada apapun dan siapapun yang bisa aku temukan selain rel kereta dalam kegelapan ini. Aku bertanya-tanya, seberapa panjang sebenarnya rel ini? Sampai kapan aku harus berjalan? Aku benar-benar lelah.


“Halo? Ada orang? Halo?!”


Tidak ada jawaban.


Aku mencoba mencari bantuan, aku rasa aku tersesat.


Perasaanku semakin tidak karuan, rasa takut dan khawatir bergejolak dalam hatiku. Aku terus berjalan sambil berusaha menahan tangis. Astaga, tempat apa ini?

Di puncak rasa takutku, aku menemukan harapan. Dari kejauhan aku melihat samar-samar seseorang berdiri ditengah rel. Aku pun mendekatinya. Semakin dekat, aku semakin bisa melihatnya. Dia seorang laki-laki. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, tapi satu yang aku yakini, dia tampan. Badannya tegap dan tidak terlalu tinggi. Kulitnya bersih, tapi lebih terkesan pucat. Ia mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan lengan yang digulung ke atas.


Aku terus berjalan mendekatinya, lalu berhenti di hadapannya. Kami hanya berjarak satu lengan. Selama beberapa saat, aku mencoba meresapi perasaanku sendiri. Aku tidak tahu siapa dia, tapi entah kenapa aku merasa mengenalnya. Aku merasa kami terhubung, kami memiliki sebuah ikatan rasa.


Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami. Dia tetap berdiri tegak, tersenyum tipis padaku, dan aku membeku di hadapannya. Dia mengulurkan tangan kirinya. Telapak tangannya terbuka. Ku amati perlahan dari ujung jari hingga sikunya. Aku bisa melihat kulit pucatnya yang bersih. Tangannya tidak terlalu kekar. Aku bisa membayangkan kelembutan jemarinya jika menyentuhku. Aku bisa melihat dan membayangkan banyak hal dengan jelas hanya dalam satu kali melihat. Tanpa melepas pandanganku dari tangannya, aku bertanya, “Mas nggak mau pergi dari sini?”


Ketika aku menatapnya untuk meminta jawaban, dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kali ini senyum yang ia beri begitu manis dan hangat.


Bukannya terpana, aku justru menjadi bingung. Aku bingung pada diriku sendiri. Barusan kenapa aku bertanya demikian? Seketika aku kembali dihantam oleh kesadaran akan kejanggalan lain dalam diriku. Aku tidak menggunakan mulutku untuk berbicara. Aku seperti bicara dalam pikiran, dalam hati, tapi dia paham maksudku dan bisa mendengarku. Percakapan bisu itu berakhir dengan aku yang diam terpaku. Sedari tadi tangannya masih terus terulur. Aku tidak menyambutnya sama sekali. Aku tidak menyentuhnya sedikitpun, entah kenapa. Aku ragu untuk menyentuhnya. Aku dihinggapi rasa cemas; aku ingin pulang.


Tiba-tiba aku merasa tubuhku ditarik mundur. Aku terbang menjauhinya. Semakin lama, dia semakin jauh, semakin kecil, lalu menghilang dalam gelap.


Aku terbangun.


“Astaga, mimpi ternyata,” ujarku.


Tidurku tidak begitu nyenyak. Bukannya bangun dengan bahagia, aku justru bangun dengan rasa penasaran. Aku duduk dan terdiam beberapa menit di tempat tidur dengan pertanyaan ‘Apa maksudnya ini?’ yang terus mengelilingi otakku. Siapa dia? Aku merasa sangat dekat dengannya, aku senang melihatnya, tapi aku ragu menyentuhnya, aku bahkan sedih saat berpisah dengannya. Semua komposisi rasa itu bercampur aduk dalam hatiku.


Pikiranku terus mengulang pertanyaan yang sama sepanjang hari, alhasil aku banyak melamun. Di rumah, di jalan, di kampus. Dari pagi hingga malam hari kepalaku hanya berisi pertanyaan tentang dia, sosok lelaki yang menyapaku dalam mimpi, yang membuatku penasaran, senang, takut dan sedih dalam satu waktu.


Aku terus memikirkannya. Lelaki itu. Dia menguasai pikiranku, hingga aku mengabaikan banyak hal di sekelilingku, termasuk secangkir kopi yang sedari tadi berada dihadapanku. Kopi itu berusaha menggodaku dengan uapnya, tapi setelah terlalu lama ku abaikan, panasnya kini minggat entah kemana.


“Ngelamunin apa? Masalah lelaki, po?”


Sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh dan mendapati pakdhe berdiri di belakangku. Aku hanya terdiam. Dia menatapku dengan tatapan teduhnya lalu duduk di hadapanku. Pakdhe memulai percakapan kami dengan menanyakan apa yang terjadi padaku. Aku lantas menceritakan mimpi yang aku alami pada pakdhe, orang yang selalu menjadi tempat bagiku untuk berkeluh kesah.


Pakdhe menyimak dengan baik apa yang aku ceritakan, lalu termenung setelah aku menutup kisah tentang mimpiku itu. Aku larut dalam pikiranku tentang lelaki itu, sedangkan pakdhe tampak berpikir, mencari jawaban atas kegelisahanku. Setelah beberapa saat kami saling diam, pakdhe membuka kembali pembicaraan.


“Kamu baru saja mengalami astral project, atau nglolos sukma. Singkatnya, kamu semalam melakukan wisata di alam lain. Kamu masuk ke dalam dimensi yang berbeda lalu bertemu dengan dia, ndhuk. Kalau kamu penasaran, kamu bisa menemuinya lagi. Cobalah mengingat cara kamu pulang kemarin, kamu mungkin bisa menemukan jalan dan jawaban dari kegelisahanmu,” kata pakdhe sambil menyeruput secangkir kopi yang sudah dingin.


“Kenapa aku bisa dipertemukan dengan dia, Dhe? Apa mungkin dia jodohku? Dia tampan, aku suka. Rasanya kami punya suatu ikatan,” jawabku mencoba bercanda dengan spekulasi anehku.


”Hahaha, kalian punya energi dan sifat yang mirip. Ibarat sinyal, kalian satu frekuensi, begitu,” jawab pakdhe.


“Hm, jadi begitu. Aku penasaran dhe, dia sebenarnya ada nggak? Maksudku apakah dia masih hidup?” balasku.


Pakdhe hanya terdiam, lalu tersenyum tipis sambil menjawab, “ora.


Mendengar jawaban itu, seketika aku terdiam. Aku mengurungkan niatku untuk menemuinya kembali. Ada beberapa kemungkinan alasan yang muncul di pikiranku jika aku mengingat kronologi mimpi itu. Pertama, dia ingin mengajakku mati. Itu adalah kemungkinan paling negatif dan mengerikan yang muncul di benakku. Kedua, dia meminta bantuan dariku. Mungkin ada beberapa urusan duniawinya yang belum selesai dan memintaku membantunya menuntaskan masalahnya. Aku takut tidak bisa mengemban tanggungjawab besar seperti itu. Ketiga, dia ingin mengajakku jalan-jalan di dunianya dan mungkin menikah denganku.

Yang terakhir adalah kemungkinan paling ngawur yang muncul akibat aku kecanduan menonton drama.


September, 2018


Aku memutuskan untuk menutup kasus itu. Aku berusaha untuk tidak lagi memikirkannya. Aku hanya takut. Itu saja. Aku takut pada semua kemungkinan yang akan terjadi jika aku terus menghubunginya. Aku menyimpan bayangan sosoknya dan semua perasaanku padanya jauh, jauh di suatu tempat dalam hatiku. Terkadang aku teringat padanya ketika aku melewati rel kereta, melihat langit atau berada dalam kegelapan. Hingga saat ini, dalam benakku, selalu muncul kalimat yang sama jika aku teringat padanya atau bahkan ketika aku merindukannya.



Mas, kamu apa kabar? Aku harap kamu sudah menemukan tempat yang lebih baik. Sampai bertemu lagi, suatu saat nanti..

Comentarios


© 2023 by Name of Site. Proudly created with Wix.com

bottom of page